Pemilu, Golput, dan Kesedihan

Anggit Rizkianto
7 min readMar 2, 2024
Foto oleh Jimmy Tandjoeng

Pemilu tahun ini saya memilih golput. Bukan karena saya apolitis atau tidak percaya kepada demokrasi, tapi saya tidak menemukan alasan-alasan kuat untuk memilih satu dari tiga pasangan calon yang tersedia. Sampai hari H pencoblosan pun, dengan berbagai perhitungan berdasarkan pengetahuan yang saya miliki, keputusan saya tetap golput. Meski sebenarnya hal itu bukanlah keinginan saya. Jauh di lubuk hati sejujurnya saya sangat ingin mencoblos salah satu paslon. Tapi nyatanya saya tetap memilih untuk tidak memilih. Pilihan yang kita ambil memang seringkali tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Begitulah hidup.

Konon, Franz Magnis-Suseno pernah berujar, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Jujur saja, saya ingin percaya dan mengikuti nasihat tersebut. Tapi, menjalankannya dalam realita politik saat ini bukanlah perkara mudah. Problemnya mungkin bukan karena minimnya informasi, tetapi justru karena membanjirnya informasi. Di tengah lautan informasi tentang program dan visi misi paslon, latar belakang, rekam jejak, dosa-dosa masa lalu, dan hal-hal lainnya, bagaimana kita memutuskan kalau salah satu kubu adalah yang terburuk di antara yang buruk-buruk? Dan bagaimana kita memastikan kalau salah satu kubu tidak lebih iblis dari kubu lain yang paling iblis?

Pendukung paslon nomor urut satu kerap mendengungkan bahwa Anies Baswedan akan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Pendukung nomor urut dua tak mau kalah, konsisten mengatakan bahwa kita butuh keberlanjutan untuk menuju Indonesia emas, dan hanya Prabowo yang dapat mewujudkannya. Pendukung nomor urut tiga tentu tak ketinggalan, berusaha meyakinkan kita semua bahwa Ganjar Pranowo adalah calon pemimpin paling merakyat dan yang terbaik untuk bangsa ini.

Tapi, pemilu 2024 bukan hanya tentang Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Terlalu naif jika kita menganggap bahwa pemilu hanyalah pertarungan capres dan cawapres semata. Anies Baswedan tak mungkin jadi capres jika tidak disokong oleh partai-partai politik dan para elite di belakangnya. Ganjar Pranowo pun juga tak mungkin jadi capres jika tidak direstui partai terbesar republik ini, juga beserta para elite dan pengusaha di belakangnya. Prabowo pun juga begitu, ia tak akan mungkin begitu jemawa jika tidak disokong oleh rezim yang sedang berkuasa, partai-partai politik, dan kekuatan lain di belakangnya.

Jika ingin memilih secara rasional, kita tidak bisa mengabaikan fakta adanya gerbong koalisi yang saling bertarung; gerbong yang disesaki oleh politisi dan partai-partai pragmatis, para pemburu rente, oligarki, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Masalahnya, kita seringnya tidak tahu — dan mungkin tidak akan pernah tahu — lobi-lobi politik dan kesepakatan macam apa yang dibuat oleh partai-partai yang berkoalisi; juga yang dibuat oleh para elite, pengusaha, dan kelompok-kelompok kepentingan dengan pasangan capres-cawapres. Kita tidak tahu apa yang dipertaruhkan dari bangsa ini oleh mereka yang memiliki kekuatan, demi memenuhi hasrat untuk berkuasa.

Demokrasi kita sudah sedemikian bebasnya. Ia tak lebih dari sekadar pertarungan modal dan popularitas, serta permainan di tingkat elite. Kita, rakyat Indonesia, hanyalah segerombolan semut yang terus diinjak-injak oleh para raksasa yang sedang bergelut.

Sebelum hari pencoblosan, media sosial sempat diramaikan oleh kampanye salam empat jari, sebuah seruan untuk tidak memilih Prabowo-Gibran. Salam empat jari adalah ekspresi kemarahan sekaligus perlawanan. Marah kepada pemerintah Jokowi yang tidak netral, lalu melawan dengan propaganda agar masyarakat tidak memilih paslon yang di-endorse oleh pemerintah. Asal bukan 02, begitu narasi yang dibangun dalam kampanye tersebut.

Alasan di baliknya sangat masuk akal. Sebab, dari ketiga paslon, paslon 02 adalah yang paling banyak meninggalkan noda-noda hitam dalam catatan demokrasi bangsa ini. Mulai dari isu ketidaknetralan Presiden Jokowi sendiri — serta banyaknya menteri yang berkampanye untuk paslon 02, pencalonan Gibran Rakabuming yang dinilai menabrak konstitusi, penyalahgunaan fasilitas negara dan bansos, serta isu politik dinasti yang terus menggelayuti paslon ini. Belakangan, catatan-catatan tidak baik pasangan Prabowo-Gibran ini dielaborasi dalam film dokumenter kliping Dirty Vote yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono.

Saya sendiri sempat terpengaruh oleh propaganda salam empat jari itu. Saya sempat berpikir untuk memilih paslon nomor urut satu atau tiga. Asal bukan Prabowo-Gibran. Seturut pandangan Franz Magnis untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, fakta bahwa paslon 02 memiliki rekam jejak dan catatan tidak baik paling banyak tidaklah cukup jadi alasan untuk memilih paslon lain.

Mari kita ingat-ingat lagi yang terjadi di tahun 2019. Saat itu, tak sedikit yang memilih Jokowi karena tidak ingin Prabowo menjadi presiden. Banyak yang berpikir bahwa untuk mencegah Prabowo — si calon terburuk — jadi presiden adalah dengan memilih Jokowi. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Begitu Jokowi menjadi presiden terpilih, ia malah mengajak lawan politiknya itu bergabung dalam pemerintahan. Kabinet dibentuk berdasar kalkulasi politik: demi meminimalisir lawan dan mengamankan kekuasaan. Prabowo dan partai politiknya pun tak malu-malu bergabung, karena toh juga menguntungkan secara politik.

Hal serupa tentu sangat mungkin terjadi di tahun politik kali ini. Tak ada yang menjamin jika salah satu kubu menang maka mereka tidak akan merangkul kubu yang kalah. Dan tak ada yang menjamin kubu yang kalah itu tetap konsisten dengan sikapnya dan bersedia jadi oposisi. Maka, yang awalnya kita pikir paling baik di antara yang buruk-buruk boleh jadi malah jadi yang paling buruk ketika nanti memegang kekuasaan.

Selama partai-partai dan para elite masih pragmatis dan tak punya prinsip, kompas moral, dan idealisme, hal-hal seperti itu tampaknya akan terus terulang. Ketika saya menulis ini, seminggu sebelumnya Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem yang menginisiasi koalisi perubahan, bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara. Sudah banyak yang memprediksi Partai Nasdem nantinya akan bergabung ke koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Semakin menunjukkan bahwa narasi perubahan hanyalah gimik murahan.

Realita politik yang begitu rumit ini tentu menuntut kita berpikir lebih keras jika ingin memilih presiden dan wakil presiden. Pandangan Franz Magnis sudah usang dan tak lagi relevan. Nasihatnya tak lagi bisa dijadikan alat untuk mencegah orang golput. Politik negeri ini bergerak begitu cepat, melampaui pikiran-pikiran filsuf.

Apabila kita memaksakan tetap memilih di tengah kebimbangan dan ketidakpastian, maka itu adalah perjudian. Saya tidak suka berjudi. Lagipula, bagi saya, golput bukanlah kedosaan selama itu adalah pilihan yang bertanggungjawab. Setidaknya saya bisa mempertanggungjawabkannya kelak di hadapan Tuhan. Golput juga tak melulu sebuah eskpresi ketidakpercayaan terhadap demokrasi. Sebaliknya, ia bisa saja menjadi sikap politik yang justru paling rasional.

Namun, republik ini masih menganggap golput sebagai “dosa”. Dalam konstruksi sistem pemilihan kita, golput tak memiliki tempat. Tak ada pilihan golput di kertas suara. Padahal, jika KPU menyediakannya, tentu saya akan semangat berangkat ke TPS dan mencoblos. Alasannya tentu bisa dipahami. Negara tak ingin sedikit pun membuka peluang kemenangan bagi pilihan golput dan membiarkan presiden terpilih tak memiliki legitimasi yang kuat. Tapi, bukankah menurut peraturan perundang-undangan memilih adalah hak politik? Tentu kita tidak perlu berdebat tentang perbedaan hak dan kewajiban. Selama memilih masih menjadi hak politik, maka selama itu pula rakyat punya kebebasan untuk menggunakan haknya atau tidak.

Memilih golput berarti menyerahkan hasil pemilihan sepenuhnya kepada proses politik yang berjalan. Tak ambil pusing siapapun yang jadi presiden. Bagi saya, apapun hasil pemilu akan sama saja dan saya siap dengan segala konsekuensinya. Memilih golput juga bukan berarti tidak peduli dengan nasib bangsa ini. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan, yang tentu saja tak kalah bernilai dari sekadar mencoblos kertas suara. Misalnya mendidik masyarakat di akar rumput; membantu memberdayakan kelompok rentan; atau mencerdaskan adik-adik generasi Z dan orang-orang terdekat kita.

Itu semua tak kalah penting untuk dilakukan demi perbaikan demokrasi. Saya pun berupaya melakukannya sesuai kapasitas saya. Saya juga tetap membayar pajak. Serta mendukung program pemerintah jika itu baik bagi masyarakat, tapi juga akan bersuara jika memang harus bersuara. Dan bagi saya, itu semua sudah cukup untuk menunjukkan betapa saya mencintai bangsa ini.

Kini rakyat Indonesia sudah menggunakan hak pilihnya, dan yang tersisa hanyalah kesedihan. Selesainya pemungutan suara ditandai dengan naiknya harga-harga. Harga beras melonjak tinggi. Begitu juga harga telur, daging ayam, cabai, bawang merah, dan bawang putih. Pedagang menjerit, begitu pula rakyat-rakyat kecil. Di televisi, berhari-hari saya menyaksikan siaran berita yang menayangkan warga miskin yang sedang mengantre dan berdesak-desakan demi mendapat beras dengan harga murah.

Dalam salah satu editorialnya, Tempo melaporkan bahwa kenaikan harga beras adalah dampak dari nafsu menang satu putaran paslon Prabowo-Gibran. Bansos yang harusnya dibagikan secara bertahap dalam satu tahun ini, pembagiannya malah dirapel di awal bulan Februari atas perintah Presiden Jokowi. Bulog terpaksa menguras cadangan berasnya hingga stoknya kosong. Kini, yang terjadi adalah ironi. Politik riang gembira yang kerap didengungkan kubu Prabowo-Gibran nyatanya tidak membawa kegembiraan sama sekali.

Tapi, kalau kita ingat-ingat lagi masa kampanye, kubu Prabowo-Gibran memang tidak menjual kegembiraan untuk meraup suara, terutama di kalangan pemilih pemula. Sebaliknya, kubu tersebut justru menjual kesedihan. Saya ingat betul video viral yang berisi potongan-potongan debat capres, yang dipadukan dengan tangisan perempuan yang entah siapa, lalu diberi latar lagu sedih. Prabowo memang kalah debat, tapi bukan itu poinnya. Sepertinya video itu hendak mengatakan kalau Prabowo adalah orang baik yang teraniaya, dan karena itu kesedihan pun dipertontonkan. Kita tentu bisa berdebat sampai mati untuk memutuskan apakah Prabowo itu orang baik atau bukan. Tapi, di mana sedihnya?

Tentu sulit bagi kita untuk memahami kesedihan sosok mantan tentara yang baru saja diberi pangkat jenderal kehormatan oleh Presiden Jokowi tersebut. Namun, tentu tidak sulit bagi kita untuk memahami kesedihan orang miskin yang dijejali joget gemoy dan janji makan gratis demi didapat suaranya, tapi setelah itu mereka kesulitan makan. Dalam sejarah reformasi, pemilu tahun ini adalah pemilu paling pilu.

**Tulisan ini sebelumnya terbit di Omong-Omong Media, 29/02/2024

--

--