Kebebasan Berpendapat dalam Islam
Kebebasan berpendapat baik yang disampaikan secara langsung di ruang-ruang publik maupun melalui berbagai media, merupakan salah satu indikator untuk menilai kemajuan suatu peradaban. Di negara-negara maju, kebebasan berpendapat senantiasa dijunjung tinggi karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari semangat penerapan demokrasi yang ingin mewujudkan kebaikan bersama, kemajuan di segala sektor sosial. Tidak hanya itu, diharapkan juga masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa adanya penindasan dan diskriminasi karena tidak ada lagi sekat-sekat sosial yang membedakan satu individu dengan individu lain maupun satu kelompok dengan kelompok lain dalam hal menyampaikan pemikirannya atau mengekspresikan ide. Dengan aktifnya partisipasi masyarakat dengan menyampaikan ide dan pemikiran, maka akan memberikan sumbangsih pada pembangunan.
Namun sayangnya, kebebasan berpendapat di Indonesia pada akhirnya seperti pisau bermata dua. Di satu sisi kehidupan demokrasi di negara ini dipandang semakin baik, tetapi di sisin lain justru kerapkali menuai masalah-masalah baru. Hak mengemukakan pemikiran dan ide terkadang justru digunakan untuk memproduksi berita bohong (hoax), bahkan ada yang mengarah ke perbuatan fitnah. Kasus semacam ini sudah terjadi berkali-kali. Situs IDN.Times pada maret 2018 merilis berita yang mengatakan bahwa ada 800 ribu konten hoax yang tersebar di Indonesia, dan jumlah itu meningkat saat menjelang Pilkada. Sebelumnya, kemenkominfo menyebutkan pada bulan desember 2017 bahwa setidaknya ada sekitar 800 ribu situs penyebar hoax di Indonesia.
Selanjutnya, dari konten dan situs yang menyebarkan hoax, tidak sedikit yang menyangkut kegiatan dakwah. Dari situs-situs yang menyebarkan hoax, tidak sedikit dari mereka menyatakan dirinya sebagai media dakwah. Begitu pula dengan konten-konten hoax yang tersebar, kerapkali apa yang dimaksudkan adalah seruan-seruan dakwah tetapi menggunakan konten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Masalah ini tentu tidak dapat didiamkan begitu saja oleh umat Islam. Jika dibiarkan, akan terus menjadi bola liar dan masyarakat akan menjadi antipati terhadap kegiatan dakwah, media dakwah atau bahkan lembaga dakwah. Bahkan, Islam yang seharusnya menjadi agama yang menyebarkan rahmat dapat dinilai sebagai agama yang justru membawa kericuhan atau pertikaian. Hal itu karena setiap kali terjadi kasus penyebaran hoax, maka yang terjadi selanjutnya adalah konflik horizontal.
Di samping itu, kebebasan berpendapat yang semestinya dapat memberikan sumbangsih terhadap pembangunan tampaknya masih jauh panggang dari api. Di era sosial media seperti sekarang, siapa saja sangat mudah terpapar oleh ruang publik di dunia maya. Kondisi ini cukup memicu siapapun untuk bersuara dan mengutarakan pendapat. Masalahnya, di sosial media setiap orang dapat berbicara apapun. Setiap orang bagaimanapun kapasitasnya, dapat berbicara dan berkomentar mengenai isu apapun. Orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan atau berkecimpung dalam dunia kedokteran dapat berkomentar tentang isu suatu penyakit, orang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan ekonomi dapat juga berkomentar tentang isu perekonomian negara yang begitu pelik.
Mereka yang berkomentar terkadang juga sudah memiliki tendensi tertentu, entah karena kepentingan ataupun kebencian. Dengan demikian apa yang disampaikan dan bertebaran di ruang-ruang publik menjadi kabur kebenaran dan kredibilitasnya. Bahkan, orang-orang yang ahli di bidangnya terkadang karena suatu kepentingan, melontarkan pendapat tanpa peduli lagi benar dan salahnya, asalkan apa menjadi kepentingan tercapai. Hal ini tentu membuat masalah semakin runyam. Kalau sudah begitu, tentu masyarakat yang dirugikan dan kebebasan berpendapat sudah kehilangan nilai/ manfaatnya.
Masalah lain yang ditimbulkan dari kebebasan berpendapat adalah pada bagaimana cara melontarkan pendapat dan berkomentar yang sepertinya sudah mengesampingkan aspek etis. Mengolok-olok atau melontarkan hinaan kepada orang lain tampaknya sudah menjadi hal biasa. Akibatnya, konflik yang sudah terjadi semakin runcing. Pada tahap yang lebih mengerikan, memperolok orang lain dapat berujung pada tindakan intimidasi hingga persekusi. Pada akhir maret 2017 Tirto.id merilis hasil risetnya terhadap pengguna internet usia dewasa di Indonesia, dan hasilnya cukup mengejutkan. Disebutkan sebanyak 73% pengguna internet usia dewasa di Indonesia pernah melihat orang lain dilecehkan secara online (online shaming) di internet, sedangkan 40% diantaranya bahkan pernah dilecehkan secara online. Tidak hanya itu, pada bulan desember 2017 BBC Indonesia juga menurunkan berita yang menyebutkan bahwa selama tahun 2017 setidaknya ada 105 orang yang menjadi korban persekusi, bahkan beberapa diantaranya sampai kehilangan pekerjaan.
Masalah yang diakibatkan oleh kebebasan berpendapat ini perlu menjadi perhatian dan dicari jalan keluarnya, terutama bagi umat Islam. Mengingat masalah yang terjadi bersinggungan langsung dengan kegiatan dakwah Islam yang berkembang, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Perlu untuk didudukkan kembali bagaimana Islam memandang kebebasan berpendapat, dan bagaimana pula kaidah-kaidahnya agar tidak menimbulkan bencana.
Kebebasan Berpendapat dalam Tinjauan Syari’at Islam.
Berpikir dan berpendapat merupakan potensi dasar yang sebaiknya dikembangkan oleh manusia. Dengan kata lain, Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk berpendapat, yang itu tidak dapat dipisahkan dari potensi sekaligus perintah Allah SWT agar manusia senantiasa berpikir. Ada banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia senantiasa berpikir. Misalnya saja firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 226, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. Dalam surat lain, yakni surat Adz Dzaariyaat: 20–21 Allah SWT menjelaskan, “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?”. Dalam hal berpendapat kemudian Allah SWT memberikan penjelasannya dalam surat Asy Syura: 38 yang berbunyi:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka….”.
Lewat surat tersebut dapat dipahami bahwa Islam sangat mengenal konsep musyawarah, yang tentu didalamnya terdapat menyampaikan pendapat bahkan adu argumen. Alamiahnya, proses tersebut tentu sangat melibatkan ra’yu (akal) agar tercapai keputusan yang benar dan memecahkan masalah. Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” bahkan menegaskan bahwa al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas dunia di sekeliling kita, dan hal ini tidak akan mungkin tanpa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. al-Qur’an, dengan demikian sangat menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ketulusan dalam pencarian kebenaran dan keadilan.
Dengan demikiran, hak kebebasan berpendapat sudah semestinya dikaitkan juga dengan perintah berpikir, karena pada pelaksanaannya keduanya tidak dapat dipisahkan. Dapat dibayangkan jika kebebesan berpendapat tidak diiringi dengan proses berpikir, apa jadinya? Maka dari sini lah semua bencana dimulai.
Kaidah-kaidah Berpendapat yang Baik.
Sebagai agama yang membawa pada kemaslahatan, Islam selalu menuntun umatnya dalam hal penggunaan hak, tak terkecuali dalam kebebasan berpendapat. Seperti halnya Islam memandang bahwa orang yang hendak menjadi kaya itu adalah hak, tetapi tentu ada kaidah-kaidah bagaimana mencapainya agar tidak terjadi bencana. Untuk memahami kaidah-kaidah dalam berpendapat sebagaimana Islam mengajarkan, maka ayat-ayat di al-Qur’an dan riwayat rasul dan para sahabat dapat dijadikan rujukan,
Pertama, berkomitmen dan konsisten hanya untuk kebenaran. Dalam hal menyampaikan pendapat sebaiknya senantiasa berpegang teguh pada kebenaran dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Apabila prinsip ini sudah dipegang, siapapun akan bersikap kritis dan tidak sembarang berbicara, serta tahu kapasitas diri dan mencari pengetahuan yang benar terkait isu yang dikomentari. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Shad: 26 yang berbunyi:
“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Prinsip ini juga mengajarkan jika dalam suatu perdebatan hendaknya juga tetap menjunjung tinggi kebenaran dan jangan sampai kehilangan arah. Ada riwayat dari Anas ibn Malik yang dapat dijadikan pelajaran, beliau mengisahkan saat Rasulullah SAW berjalan-jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah, mereka bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Rasul kemudian memberikan tanggapan dengan tidak menggunakan kata-kata yang menyebutkan kepastian. Rasul menyampaikan: “Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu juga akan tumbuh baik”. Karena yang mengatakan itu adalah Rasul, maka masyarakat Madinah pun menaatinya dan meninggalkan kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun. Selang beberapa waktu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya Rasul pun mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut justru membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya. Dengan segala kerendahan hati, Rasul pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut, “Antum a’lamu bi amri dunyakum” (kalian lebih mengetahui urusan tersebut). Rasul mengajarkan jika suatu kebenaran telah tampak, maka sebaiknya berpegang teguhlah padanya.
Kedua, berpendapat dengan cara yang baik. Berpendapat dalam bentuk apapun sebaiknya tidak dengan hinaan, olok-olok dan bentuk lain yang melukai. Sebaik apapun isi pendapat jika disampaikan dengan kata-kata yang melukai maka tidak akan berguna sama sekali. Rasulullah SAW sendiri sudah berpesan sebagaimana dalam H.R. Bukhari:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.”
Bahkan Firman Allah dalam surat al-An’am: 108 juga sudah jelas mengatur hal ini:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas..”
Ketiga, tetap mengedepankan persatuan. Saat terjadi perbedaan pendapat, prinsip yang harus dipegang teguh adalah harus tetap menjaga persatuan dan soliditas umat. Jangan sampai terjadi perpecahan yang akan mengakibatkan bencana yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah dalam al-Anfal: 46:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”
Kesimpulan
Islam sangat menghargai hak setiap orang dalam mengemukakan pendapat. Tetapi Islam juga mengajarkan mengenai kaidah-kaidahnya agar kebebasan berpendapat dapat membawa manfaat dan tidak mengakibatkan kerusakan. Tentu kaidah-kaidah sebagaimana dijelaskan di atas dalam implementasinya perlu dirumuskan melalui regulasi yang lebih kongkret. Dengan demikian, kebebasan berpendapat akan berlangsung dengan etis, ilmiah dan bermartabat.